Kelangkaan Instrument Financial Pada Mesin Ekonomi Negara Maju

Vibiznews
(Vibiznews - Economy) Mengemudikan kendaraan yang seluruh instrument-nya bekerja secara normal adalah hal yang wajar, kita bisa bermanuver ke kanan ke kiri, tancap gas dan kurangi kecepatan lagi, begitu dinamisnya. Namun lain halnya dengan mengemudikan kendaraan yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, misal rem blong, atau terjebak lumpur licin, mungkin kita coba cara-cara yang dalam keadaan normal bisa segera dikendalikan tetapi dalam keadaan yang tidak normal ada saja yang tidak bisa bekerja seperti yang kita harapkan sehingga harus ada akal untuk meminimalkan resiko atas tidak terkendalinya kendaraan ini.
Keadaan ekonomi global sekarang ini bisa digambarkan seperti kendaraan yang sudah tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pengemudinya. Kondisi ekonomi beberapa negara maju yang kita bisa jadikan sebagai acuan pergerakan ekonomi global menunjukan indikasi ini secara jelas.
Amerika Serikat
Amerika Serikat sebagai negara dengan GDP USD 15.094 milyar, terbesar di dunia, menyadari bahwa mesinnya batuk-batuk dan cenderung akan mogok, maka berbagai upaya bongkar pasang instrumen dilakukan agar bisa kembali tancap gas. Debt to GDP ratio negara raksasa ini juga sudah mencapai 101.6%, bila diilustrasikan sebuah pabrik, maka hutangnya sebesar hasil produksi pabrik tersebut selama setahun.
Instrumen moneter dikutak-katik untuk menambah oktan bahan bakar, dengan beberapa kali menurunkan suku bunga supaya agar iklim investasi terdorong, dimana pemotongan suku bunga acuan sebesar 325 bps dalam periode Januari hingga Desember 2008 yaitu dari 3.5% di bulan Januari hingga 0.25% di bulan Desember. Selanjutnya mengupayakan lagi dengan mengganti system pembakaran, dengan system ini dipastikan bahwa guyuran bahan bakar bisa lebih besar dan tidak akan kurang, maka diluncurkan QE1 November 2008 – Maret 2010, USD 1.425 triliun disuntikkan ke ekonomi AS, USD 1.25 triliun dalam bentuk sekuritas (mortgage-backed securities), instrumen sekuritas yang terkait Sub Prime Loan, lalu USD 175 miliar dalam bentuk obligasi lembaga (lembaga yang disponsori pemerintah), QE2: November 2010 – Juni 2011, USD 600 miliar digelontorkan untuk membeli sekuritas milik pemerintah AS, Total QE USD 2.025 triliun, QE3 dan QE4 September 2012, masih berjalan, Fed membeli mortgage-backed securities sebesar USD 40 miliar per bulan, mulai Januari 2013, pembelian ini dinaikkan USD 45 miliar per bulan untuk membeli sekuritas jangka panjang pemerintah sehingga total USD 85 miliar per bulan.
Namun setiap kali diguyur bahan bakar berupa likuiditas, maka gas bisa mengencang sesaat lalu melambat lagi, kemudian mulai dicoba mencari jalan keluar lain, dicarilah bagian-bagian kendaraan yang kontribusi kurang malah memperberat beban, mulailah dicopot-copot dan dibuang, AC dimatikan, Ban serep dibuang, bemper dicopot supaya ringan walau kenyamanan dan keamanan sudah menjadi minim, AS mulai menerapkan kebijakan fiscal yang pada intinya bukan lagi mengurangi pengeluaran, bahkan sudah pada batas memotong anggaran yang ada, hingga dikawatirkan ekonomi bisa roboh karena pmotongan yang berlebih (Fiscal Cliff).
Negara Eropa
Negara-negara Eropa berbeda lagi suasananya, mereka semula berkendaraan bersama-sama beriring-iringan supaya aman dan bisa saling tolong menolong, tentunya ini sudah menjadi kesepakatan yang dijunjung bersama. Namun di tengah perjalanan setelah melalui medan yang sulit, beberapa negara mulai kehabisan bahan bakar, seharusnya sudah mogok, namun karena perjalanan dengan banyak teman, maka teman yang lain dengan setia menyumbangkan bensinnya, tentu dengan hitungan sebagai teman.
Ternyata kondisi tidak lebih baik, makin lama makin banyak yang kehabisan bensin, maka disepakati harus irit bahan bahan bakar dengan Austerity Policy, hasilnya bukannya perjalanan lebih pasti malah mesin mulai rusak. Instrumen moneter sudah tidak bisa lagi diterapkan, suku bunga sudah hampir menempel ke angka nol tetap juga tidak berpengauh, fiscal policy sudah mulai menjerat leher, bukan lagi irit tapi sudah bisa menggiring pada kematian. Teman yang menolong sudah mulai marah dan mengancam tidak mau menolong lagi, karena berapapun bantuan tambahan bensin hanyut begitu saja dan keadaan tidak lebih baik.
Jepang
Jepang beda lagi ceritanya, sebelumnya dia membuat sirik orang karena kendaraannya selalu kinclong dan bisa ngebut dimana-dimana, namun kali ini kondisi global membuat laju kendaraannya terjebak lumpur licin, bahkan mendapat celaka Tsunami sehingga sempat penyok dan beberapa bagian rusak. Perjalanan harus terus dilanjutkan sambil membenahi beberapa yang rusak, mau minta tolong sangatlah tidak mudah, karena sebelumnya kendaraannya memang lebih bagus dari yang lain, bahkan yang ada justru jalurnya telah mulai diserobot oleh kompetitor. Produk-produk unggulan Jepang seperti halnya perangkat elektronik, tidak lagi kompetitif bukan karena persaingan tehnologi-nya tetapi nilai tukar Yen yang tidak kompetitif membuat market share-nya digerogoti oleh negara-negara pesaing yang memang dari dulunya agak sirik dengan penguasaan pasar oleh Jepang, seperti Korea Selatan dan China. Bukan hanya itu, kondisi masih diperburuk lagi dengan masalah geopolitik dengan negara tetangga, ribut dengan China karena berebut pulau Senkaku, ancaman rudal nuklir dari Korea Utara bisa menjadi potensi guncangan ekonomi yang penyebabnya non ekonomi.
Cyprus
Cyprus bailout yang sekarang ini menjadi topik banyak pembicaraan para pelaku bisnis merupakan gambaran kompleksitas dan saling berkaitan kesulitan ekonomi secara global. Negara yang selama ini menjadi tax heaven, ketika mulai batuk-batuk hampir mogok, bukan saja dia sendiri yang panik, namun orang lain ikut panik semua.
Mengapa ikut panik, karena Cyprus sudah sadar bahwa instrumen moneter sudah tidak jalan, instrumen fiscal juga sudah pasti tidak memberi dukungan, austerity policy yang dilakukan di negara lain memberi bukti bukan tambah baik malah tambah rusuh, jadi apalagi yang bisa dilakukan, maka dibuatlah proposal pemungutan pajak deposito, yang secara normal dilakukan adalah dikenakan pajak bunga sebagai pajak penghasilan bagi penerima pendapatan bunga, namun kali ini yang dikenakan adalah pajak terhadap saldo deposito, dengan kata lain adalah pemotongan paksa dana yang disimpan para deposan. Berikut proses kebijakan fiskal dalam rangka menyelamatkan ekonomi Cyprus,
Proposal awal:
Pemajakan sebesar 6.75% untuk deposito 20,000-100,000 euro
Pemajakan sebesar 9.9% untuk deposito >100,000 euro.
Proposal awal ini dibatalkan sebab dirasa penting untuk melindungi deposito dalam jumlah kecil. Karena itu akhirnya proposal yang diajukan ke parlemen adalah pemajakan sebesar 15.6% untuk deposito berjumlah >100,000 euro. Parlemen Siprus menolak opsi ini.
Akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut:
Cyprus Popular Bank yang 84 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah akan ditutup. Nasabah yang akan kehilangan dananya adalah pemegang deposito dan obligasi yang tidak diasuransikan, termasuk juga kreditur senior. Pemegang obligasi senior juga akan berkontribusi terhadap rekapitalisasi Bank of Cyprus.
Kesepakatan bailout dengan para pemimpin Eropa pada awal minggu ini akhirnya terjadi, sehingga Cyprus dapat terhindar dari kebangkrutan. Uni Eropa dan IMF setuju memberikan dana talangan sekitar 10 miliar Euro atau 13 miliar USD, dengan salah satu syaratnya adalah pemerintah Cyprus harus melikuidasi Cyprus Popular Bank Plc, bank terbesar ke-2 di
Cyprus.
Mengapa Negara Eropa tergoda untuk memaksakan kebijakan ini ? demi mengamankan pinjaman ke Cyprus sebesar 10 miliar Euro ini maka perlu sumber pembayaran melalui penerapan pajak deposito. Selama ini Cyprus sebagai negara tax heaven, dana mengalir dari seluruh penjuru dunia memanfaatkan fasilitas bebas pajak sebagai pelarian dana untuk transaksi-transaksi yang menghindar pajak, mayoritas dana individual dan perusahaan dari Rusia yang diparkir di Cyprus, diduga bisa mencapai 70 miliar euro deposito yang diinvestasikan oleh perbankan Cyprus, dengan porsi eksposure seperti gambar di bawah ini (data dari WSJ).
Rencana kebijakan pajak “merampok deposan” ini diharapkan langsung menyelesaikan permasalahan kekurangan likuiditas negaranya. Namun dampak dari policy ini membuat kepanikan dari para pemilik dana yang notabene para pemilik dana "siluman" tersebar di seluruh dunia, sehingga goncanglah bursa dan perdagangan akibat rencana tersebut.
Syukurlah Parlemen Cyprus menentang rencana itu sehingga rencana ini batal, namun pelajaran yang bisa kita lihat bahwa kesulian ekonomi global kali ini memberi gambaran bahwa para pengemudi sudah kehabisan intrumen untuk mengendalikan kendaraannya agar terus bisa melaju.
Kesempatan Yang Sempit
Dalam sebuah perlombaan balap mobil, sekalipun banyak terjadi benturan dan kecelakaan tetap saja ada yang keluar sebagai juara. Sang juara bisa jadi memang sejak start memimpin pertandingan, tetapi bisa juga karena yang mereka yang berusaha memperoleh posisi pertama justru saling bertabrakan sehingga yang di belakang justru terhindar dari kecelakaan.
Sekarang kita lihat, negara mana yang masih mempunya andalan sehingga instrument ekonominya masih bisa dioptimalkan untuk memacu laju ekonominya.
Amerika Serikat yang selama ini menguasai tehnologi juga memiliki kekayaan sumber daya alam, diprediksi akan berusaha kembali memimpin melalui perpaduan kekuatan tehnologi dan sumber alamnya untuk memanfaatkan cadangan gas bumi dan energy alternative non minyak untuk mendobrak ekonominya supaya tidak tergantung dengan import minyak yang sangat memberatkan beban ekonomi AS.
Jerman, yang juga piawai di bidang tehnologi dan otomotive, sampai sekarang ditopang kuat oleh faktor ini, sehingga kemungkinan akan keluar dari problem yang melilit negara-negara Eropa.
Negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Afica) memiliki potensi sumber daya alam, demography yang kuat untuk permintaan dalam negeri, tenaga kerja yang relative murah, sehingga pertumbuhan ekonominya bisa melejit.
Negara-negara Asia Kuning (China, Korea, Jepang) dan ASEAN memiliki potensi untuk melanjutkan pertumbuhan ekonominya sebagai negara berkembang, hanya saja ketidakstabilan geopolitik sehubungan ancaman Korea Utara bisa mengganggu masa depan ekonomi negara sekitarnya.
Indonesia, yang sekarang ini sering dijuluki ekonomi komodo, dimana sifatnya buas, kebal dan khas Indonesia, dengan potensi sumber alam, demography dan stabilitas politiknya, diperkirakan akan terus memanfaatkan kesempatan gunjang-ganjing ekonomi global ini dengan mencuri perhatian dana-dana investasi untuk terus masuk ke Indonesia yang menarik dari sisi kekuatan ekonomi domestiknya.
Hal ini sangat dimungkinkan bila disertai dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur dan kepastian hukum bagi para investor.
Siapa pemenang pertandingan ini ? kita tunggu hasilnya, setiap pertandingan akan menghasilnya juaranya.
Mungkinkah Indonesia ? bila memang para negara maju dan negara-negara Eropa tidak bisa melepaskan diri dari permasalahannya, dan negara-negara Asia Kuning terlibat masalah regionalnya, maka tidak tertutup kemungkinan untuk Indonesia mengambil posisi kedepan. Kalaupun tidak juara pertama, minimal juara harapan.

Sumber: Vibiznews
First

Pembaca yang baik adalah pembaca yang selalu memiliki pendapat terhadap apa yg ia baca. Silahkan memberi komentar sesuai aturan :

1 Menggunakan bahasa yang baik dan sopan
2. Dilarang memberikan link yang tidak senonoh dan atau membahayakan
3. Apabila ingin copas artikel silahkan backlink ke artikel terkait

TERIMA KASIH telah berkunjung..!
EmoticonEmoticon